Membangun peradapan Islam dengan sastra

Sastra, peradaban, dan Islam memiliki kaitan cukup erat. Sastra dalam Bahasa Arab disebut pula dengan istilah adab yang artinya sopan, penuh dengan keindahan. Manusia yang beradab artinya manusia yang menampilkan cara hidup yang indah, dengan cara keluhuran budi pekerti. Sebaliknya, manusia yang tidak beradab adalah manusia jauh dari cara-cara hidup yang indah, manusia bengis, yang diliputi kebencian. Yang tak satupun mau menengoknya memenag karena tidak Indah. 
Peradaban sendiri bisa diartikan sebagai pandangan hidup, aktivitas, dan buah karya manusia yang di dalamnya mengandung nilai-nilai estetika keindahan.
 Islam menyebutkan bahwa misi utama diutusnya Rasulullah SAW di muka bumi ini adalah untuk menjadikan manusia beradab. Karena sesungguhnya akhlak Rasulullah adalah Alquran. Sementara, Alquran sebagai kitab panduan hidup umat muslim merupakan kitab suci yang mengandung kedahsyatan sastra menakjubkan. Alquran diturunkan dengan bahasa yang mengandung nilai sastra tinggi, yang membuat pujangga jahiliyah takjub terheran-heran. Kandungan sastranya menjadi legenda yang tidak bisa diungguli oleh sastrawan manapun hingga saat ini. Dari sini saja, bisa dilihat begitu terang hubungan antara sastra, peradaban, dan Islam. Ketiganya bermuara pada titik yang sama, yaitu keindahan.
 Sebagai agama yang peduli pada keindahan, Islam menghendaki dakwah dengan cara-cara indah. Seorang ulama, selain dituntut hidup dengan keindahan budi pekerti, juga dituntut mampu mendakwahkan kebenaran agama dengan kata-kata yang menawan jiwa. Di sinilah sastra memiliki peran tak terpisahkan dalam Islam. Maka tidak perlu heran, bila kemudian dalam rentan sejarah peradaban Islam banyak sekali ulama besar yang juga sastrawan.
 Sastrawan mempunyai tempat yang istimewa dalam Al-Quran. Hal ini dapat kita buktikan dengan adanya surat Asy Syu’araa yang terdiri dari 227 ayat. Dinamakan Asy Syu’araa karena (kata jamak dari Asy Syaa’ir yang berarti penyair) diambil dari kata Asy Syuaraa yang terdapat pada ayat 224. Secara detail dan khusus Allah SWT menyebutkan kedudukan penyair-penyair di tujuh ayat terakhir surat ini.
 Sebelum ayat ini turun, dalam sejarah sastra Arab, kedudukan penyair sangatlah penting dan sangat terhormat dalam istana maupun dalam masyarakat. Penyair dihormati karena para penyair diyakini memiliki kemampuan khusus yang tidak dimiliki orang banyak. Penyair dianggap berkemampuan supranatural (kegaiban), mereka mampu berkomunikasi dengan mahkluk gaib seperti jin. Penyair berkomunikasi dengan jin dengan merapalkan bermacam mantra sihir. Kemudian Penyair-penyair arab pra-Islam senang melakukan pengembaraan dari suatu tempat ke tempat lain untuk mencari nafkah kehidupan.
Mereka terbiasa bersikap munafik dengan sengaja menyanjung penguasa tempat-tempat atau istana yang mereka singgahi agar diberi sangu dan dilayani dengan istimewa oleh istana. Ketika kaum kafir menguasi Ka’bah, syair-syair mereka yang berisi puji-pujian pada penguasa, syair-syair yang dirapalkan dalam penyembahan pada berhala dipajang didinding Ka’bah. Sebagian penyair-penyair itu suka mempermainkan kata-kata dan tidak mempunyai tujuan yang baik yang tertentu dan tidak punya pendirian.
Para penyair-penyair itu mempunyai sifat-sifat yang jauh berbeda dengan para rasul-rasul sebelumya; mereka diikuti oleh orang-orang yang sesat dan mereka suka memutar balikkan lidah. Perbuatan mereka tidak sesuai dengan apa yang mereka ucapkan. Selain itu Penyair penyair pada kala itu ditakuti oleh masyarakat karena mereka bisa berbuat jahat dengan perantara jin jahat (iblis).
Kondisi inilah dikisahkan dan dijelaskan Alquran surat Asy Syu’araa: (221) Apakah akan Aku beritakan kepadamu, kepada siapa syaitan- syaitan itu turun? (222) Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi yang banyak dosa, (223) mereka menghadapkan pendengaran (kepada syaitan) itu, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang pendusta. (224) Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. (225) Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap- tiap lembah. (226) dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan(nya)?
Ketika Ayat ini turun dan disampaikan Muhammad SAW pada para Hafiz, seketika sebagian penyair pengikut Muhammad SAW, seperti Abdullah Ibnu Rawahah, menjadi dibuat patah arang dan ketakutan menyimak ayat tersebut. Abdullah Ibnu Rawahah saat itu berpikiran bahwa ayat tersebut telah menegaskan bahwa kegiatan bersyair dan menjadi penyair dilarang dalam agama Islam. Bersegaralah Ia menemui Rasul, dan menanyakan perihal ayat tersebut.
Maka, dengan tersenyum Nabi Muhammad SAW menjelaskan dengan membaca ayat terakhir (ke-227) dalam surat tersebut, yang mengatakan: (227) kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman. Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali. Maka, menjadi jelaslah persoalan itu dan lepaslah ketakutan Abdullah Ibnu Rawahah. Sejak itu tanpa ragu makin semangat Ia membuat syair yang bertendensi dakwah, ajakan berbuat baik, memompa semangat juang para Mujahidin dalam berperang, maupun syair-syair yang mengagungan Allah SWT.
 Pada masa al-Khulafa al-Rasyidun, sastra mengalami perkembangan, meski para khalifah saat itu kurang terfokus dalam pengembangan sastra, karena lebih fokus pada proses penulisan dan pembukuan al-ur’an. Tetapi, bagi masyarakat seni, al-Qur’an dan al-Hadits yang tengah mendapatkan perhatian serius, menjadi inspirasi bagi upaya pengembangan sastra Islam.
 Pada saat itu, seni sastra yang dikembangkan sangat terpengaruh dari peng¬ua¬saan al-Qur’an dan pengembangan al-Hadits. Paling tidak ada dua bentuk proses yang berkembang ketika itu, yaitu khithabah (seni berpidato) dan Kitabah (seni me¬nu¬lis). Khi¬thabah, menjadi alat yang paling efektif dalam berdakwah. Salah seorang saha¬bat yang ahli berpidato adalah Ali bin Abi Thalib. Sahabat Ali Ra, salah satu khulafaurrasyidin, dikenal sebagai sahabat yang memiliki kepiawaiaan meramu kata dalam tiap pidatonya yang memikat jiwa. Khutbahnya dikumpulkan dalam satu buku yang diberi judul Nahjul Balaghah. Pada masa ini muncul para penyair yang hidup pada dua jaman, yaitu pra Islam dan masa Islam. Mereka biasa disebut dengan Mukhadram. Di anatar meraka adalah Hasan bin Tsabit dan Ka’ab bin Zuhair. Hasan bin Tsabit adalah penyair kel¬uarga Rasul. Ia selalu menggubah syair-syair untuk membela Islam dan memuliakan Rasulnya.
 Imam Syafi’i, yang hidup sesudahnya, salah satu dari empat imam mazhab fikih, penggagas ilmu ushul fikih, ternyata juga adalah seorang sastrawan yang terkenal piawai merangkai kata. Beliau meninggalkan banyak sekali petuah kehidupan yang tersusun dalam kalimat puitis yang abadi hingga saat ini. Tidak berlebihan, jika Dr Muhammad Ibrahim Al Fayyumi, dalam bukunya menjuluki Imam Syafi’i sebagai pelopor fikih dan sastra (Fayyumi, 2009).
 Pada era dinasti Ayyubiah, Perang Salib III menjadi saksi bisu lahirnya Al-Barjanji, kitab sastra yang berisi Sirah Nabi. Waktu itu, di bawah komando Salahuddin al-Ayyubi, kitab karya Syaikh Ja’far al Barzanji ini sanggup menggerakkan pasukan muslim untuk membebaskan Baitul Maqdis. Begitu pula di Indonesia, sekitar 1880-an, lahir karya Hikayat Prang Sabi karya ulama Aceh, Teuku Cik Panti Kulu yang menjadi obor penyemangat perjuangan rakyat Aceh dalam mengusir kolonial Belanda.
Masih banyak ulama sastrawan yang sangat berjasa dalam pengembangan agama Islam melalui karyanya. Terlebih pula pada kekayaan hakekat Islam yang indah yang didalamnya ada beribu kebaikan yang memberikan sebuah nuansa baru, perjalanan baru, tak terkecuali keindahan dalam hal hubungan dengan Allah yang diperlukan pula hubungan yang sangat Indah, dengan melewati semua hari- hari berdua- duaan dengan Allah, untuk mencapai itu semua perlu adanya sebuah upaya yang bisa digunakan untuk menyebarkan agama Allah, mendakwahkan agama Allah dengan cara yang indah pula untuk memikat mereka agar mau mempelajari Alquran dan tentunya Islam. Dari mereka, kita belajar bahwa membangun peradaban Islam tidak bisa tidak kecuali dengan menempuh jalan keindahan, salah satunya jalan sastra.
Sumber :
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/05/31/148313/10/Sastra-untuk-Kebangkitan-Peradaban
 http://bustankar.blogspot.com/ http://akademika-odiemha.blogspot.com/2009/12/perkembangan-islam-periode-klasik.html
http://sastra-pesantren.blogspot.com/2012/08/sastra-yang-berhulu-pada-al-quran.html

Belum ada Komentar untuk " Membangun peradapan Islam dengan sastra "

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel