Ajaran Tasawuf Imam Al-Ghazali

sumber : nahdlatululama.id

Beliau adalah Zainuddin, Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali at-Tusi al-Naysaburi, al-Faqih al-Shufi, al-Syafi’, al-Asy’ari. Lahir di kota Thus yang merupakan kota kedua di Khurasan setelah Naysabur, pada tahun 450 H. Beliau mempunyai saudara laki-laki yang bernama Ahmad. Ayahnya adalah seorang perajin kain suff (yang terbuat dari bulu domba) dan menjualnya di kota Thus.

Menjelang wafat, dia mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya kepada temannya untuk dididik. Dia berpesan. “Sungguh saya menyesal tidak belajar khat (tulis-menulis Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua anak saya ini. Maka saya mohon engkau mengajarinya dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk keduanya.” Ayahnya adalah seorang fakir yang saleh. Tidak memakan kecuali hasil pekerjaannya dari kerajinan. Kebiasaannya adalah berkeliling mengunjungi ahli fikih dan mendengarkan pengajiannya. Menghadapi keluarganya dengan nafkah semampunya. Apabila mendengar perkataan mereka (ahli fikih), beliau menangis dan berdo’a memohon diberi anak yang faqih. Apabila hadir di majelis ceramah nasihat, beliau menangis dan memohon kepada Allah untuk diberikan anak yang ahli dalam ceramah dan nasehat. Nampaknya Allah mengabulkan do’anya. Imam al-Ghazali menjadi seorang yang faqih dan sudaranya “ahmad” menjadi seorang yang ahli dalam memberi ceramah nasihat.

Setelah ayahnya meniggal, maka al-Ghazali dan Ahmad dirawat dan dididik oleh teman ayahnya, seorang sufi yang diberikan wasiat oleh ayahnya tersebut. Beliau berdua belajar dengan tekun hingga sampai suatu saat harta peninggalan orang tuanya sudah habis. Ketika harta peninggalan ayahnya habis, sang sufi itu menganjurkan keduanya untuk belajar di sebuah madrasah di Tus yang menyediakan biaya hidup bagi para santrinya. Nasihat sufi tersebut mereka turuti. Disini al-Ghazali mulai mempelajari fikih dari Syaikh Ahmad bin Muhammad ar-Radzkani tentang fikih Syafi’i, kalam Asy’ari, sejarah para wali dan syair-syair. Ketika berusia 20 tahun berangkat ke Jurjan untuk belajar kepada Imam Abu Nashr al-Isma’ili dan menulis buku at-Taliqat. Setelah itu kembali lagi ke Tus dalam perjalanannya ke Tus dia dihadang oleh perampok dan menyita buku catatannya. Namun akhirnya catatan itu dikembalikannya.

Pengalaman dirampok tersebut sangat membekas dalam benak al-Ghazali sesampainya di Tus. Beliau khawatir ilmunya akan hilang. Untuk itu selama tiga tahun, al-Ghazali merenung, berfikir dan menghafal seluruh pelajaran yang diterima dari gurunya. Setelah itu, al-Ghazali melanjutkan pengembaraan untuk belajar ke kota Nisabur. Beliau berguru kepada Imam Haramain al-Juwaini, seorang ulama besar aliran Asy’ariyah, hingga berhasil menguasai berbagai disiplin ilmu dengan sangat baik fikih mazhab Syafi’i, ilmu perdebatan ushul, manthiq, hikmah dan filsafat. Di Nasabur ini, al-Ghazali mulai mengembangkan bakat menulisnya sehingga membuat kagum gurunya, sehingga diberikannya gelar “Bahr al-Mughriq” (laut yang dalam dan menenggelamkan). Setelah Imam Haramain meninggal, berangkatlah Imam al-Ghazali pergi ke Mu’askar untuk bergabung dengan majelis seminar yang digelar oleh Wazir Nidzam al-Muluk. Kemudian mengangkatnya menjadi pengajar di madrasahnya dan memerintahkannya untuk pindah kesana.

Pada tahun 484 H pada usia tiga puluh tahun, al-Ghazali diangkat sebagai guru besar dan Rektor Universitas Nizamiyah di Baghdad. Di Universitas tersebut, al-Ghazali mempunyai kesempatan yang luas untuk mengembangkan pemikirannya pada bidang fikih, ilmu kalam, maupun ilmu filsafat. Pengaruh filsafat begitu kental dalam diri beliau. Beliau menyusun buku yang berisi kritik terhadap filsafat, seperti kitab at-Tahafu al-Falasifah yang berisi kritikan tajam terhadap filsafat. Walaupun demikian, beliau tetap mengambil sisi positif filsafat yang dinilainya ada sisi kebenarannya juga. Beliau juga memiliki kegemaran meneliti kitab Ikhwan as-Safa dan kitab-kitab karangan Ibnu Sina dengan demikian kejeniusan dan kepakarannya dalam fikih, tasawuf dan ushul maka beliau menyelami semua bidang keilmuan tersebut dengan mendalam Imam al-Ghazali adalah penulis yang sangat produktif, bahkan sampai sekarang sulit mencari tandingan penulis yang seproduktif beliau. Tidak kurang dari 457 kitab telah ditulisnya, diantara karya yang monumental adalah Kitab Ihya’ Ulumuddin (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agaama).

Berikut ini adalah sebagian kitab yang ditulis Hujjatul Islam al-Ghazali:

a. Ihya’ Ulumu ad-Din (Menghidupkan ilmu-ilmu agama)
b. Mukasyafah al-Qulub (Terbukanya hati)
c. Mizan al-‘Amal (Timbangan amal)
d. Kimiya as-Sa’adah (Kimia kebahagiaan)
e. Misykat al-Anwar (Relung-relung cahaya)
f. Minhaj al-‘Abidin (Metode orang-orang beribadah)
g. Bidayah al-Hidayah (Pembukaan untuk mendapatkan hidayah)
h. Al-Ulum al-Laduniyyah (Ilmu-ilmu laduni)
i. Risalah al-Qudsiyyah (Surat-surat cinta)
j. Jawahir al-Qur’an (Rahasia-rahasia al-Qur’an)
k. Tahafutul Falasifah (Kerancuan filsafat)
l. Al-Munqidzu min adz-Dzolal (Pembebas kesesatan)

Kedudukan dan ketinggian jabatannya tidak membuat congkak dan cinta dunia. Dalam jiwanya bergejolak yang membuatnya senang menekuni ilmu-ilmu kezuhudan, bahkan dalam proses kehidupanya di kemudian hari, al-Ghazali meninggalkan Baghdad dan kembali ke Thus untuk mendirikan Zawiyyah Suffiyah. Ditempat ini, al-Ghazali membimbing para salik untuk belajar memahami dan mengamalkan tasawuf. Pada bulan Dzulqai’dah tahun 448 H beliau berhaji dan mengangkat saudaranya yang bernama Ahmad sebagai penggantinya. Pada tahun 489 H beliau masuk kota Damaskus dan tinggal disana. Kemudian menziarahi Bait al-Maqdis beberapa lama dan kembali ke Damaskus beri’tikaf di menara barat masjid Jami’ Damaskus selama 10 tahun. Beliau banyak duduk di pojok tempat Syaikh Nashr bin Ibrahim al-Maqdisi di Masjid Jami’ Umawi (yang sekarang bernama al-Ghazaliyah). Tinggal disana dan menulis kitab Ihya Ulumuddin sambil melatih jiwa. Akhir kehidupannya dihabiskan untuk mempelajari hadis dan berkumpul dengan ahlinya.

Berkata Imam adz-Dzahabi, “Pada akhir kehidupannya, beliau tekun menuntut ilmu hadis dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim). Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat menguasai semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan hadis dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa orang putri.” Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam kitab ats-Tsabat Inda al-Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya). Pada subuh hari Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan salat lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan saya”. Lalu beliau mengambil dan menciumnya serta meletakkannya dikedua matanya, dan berkata, “Saya patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut” Kemudian beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum langit menguning (menjelang pagi hari). Beliau wafat di kota Thus, pada hari Senin tanggal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H dan dikuburkan di perkuburan ath-Thabaran.

Sebelum menempuh jalur sufi, al-Ghazali telah melewati pengembaraannya di berbagai bidang keilmuan, mulai dari ilmu fikih, filsafat, ilmu kalam dan yang terakhir adalah tasawuf. Bagi al-Ghazali, para sufilah yang menempuh jalur yang benar karena mereka memadukan antara ilmu dan amal memiliki ketulusan tujuan dan betul betul nebgakami ketentraman dan kepuasan karena amal, amal, kepuasan karena mendapat pencerahan dari Allah swt, al-Ghazali mengatakan, ilmu yang dicapai para sufi bisa mematahkan hambatan-hambatan jiwa serta membersihkan moral atau sifatnya yang buruk dan tercela, sehingga mengantarkannya pada keterbatasan kalbu dari segala sesuatu selain Allah. Seorang murid yang menempuh jalan sufi harus konsisten menjalani hidup, menyendiri, diam, menahan lapar dan tidak tidur pada malam hari untuk membina kalbunya. Manfaat hidup menyendiri adalah mengosongkan kalbu dari pesona duniawi. Diam adalah untuk menyuburkan akal-budi, membangkitkan rendah hati dan mendekatkan ketakwaan. Rasa lapar dapat mencerahkan kalbu, sementara terjaga pada malam hari adalah untuk menjernihkan dan mencemerlangkannya. Oleh para ahli, corak tasawuf yang mengedepakan kepada perbaikan budi pekerti atau moral.

Dalam ihya’, al-Ghazali menyebutkan delapan maqam sufi, yakni: taubat, sabar, syukur, berharap (raja’), takut (khauf), zuhud, tawakkal dan cinta (mahabbah). Cinta adalah maqam yang tertinggi yang membuahkan rindu (syauq), intim, uns dan ridha. Untuk melewati setiap tanjakan, seorang salik harus melakukan riyadah (latihan kerohanian) adalah pembinaan diri dengan suatu perbuatan yang pada awalnya menjadi beban dan pada akhirnya menjadi rabi’at atau karakter. Adapun mujahadah adalah perjuangan melawan tarikan hawa nafsu.

Belum ada Komentar untuk "Ajaran Tasawuf Imam Al-Ghazali"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel